1)
Alat
pemerolehan bahasa yang dibawa sejak lahir digambarkan dengan bagan sebagai
berikut:
Kompetensi semantik
|
Proses kompetensi
|
Pemerolehan bahasa
|
Proses perfomansi
|
Kompetensi sintaksis
|
Kompetensi fonologis
|
Proses pemahaman (mengamati dan
mempersepsi)
|
Proses penerbitan (menghasilkn kalimat)
|
Kompetensi linguistik
|
2)
Tahap-tahap
pemerolehan bahasa pertama
a.
Tahapan
pemerolehan semantic (arti bahasa)
Bila
seorang anak akan mengatakan atau memahami sesuatu, maka dia harus memiliki
daftar kata-kata yang cukup memadai.
Tahapan
pemerolehan semantic pada anak, berdasarkan penelitian yang ada, digambarkan
sebagai berikut (Parera 1986:97-98):
a)
Konkret
dan abstrak
Anak
lebih cepat mengenal makna yang konkret dari yang abstrak.
b)
Tahap
penyempitan makna kata
Berlangsung
antara umur 1 tahun enam bulan. Pada tahap ini anak menganggap satu benda
tertentu yang dicakup oleh satu makna menjadi nama dari benda itu.
c)
Tahap
Medan Semantik
Tahap
medan semantic berlangsung dari umur dua tahun enam bulan sampai dengan lima
tahun. Pada tahap ini anak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke
dalam satu medan semantic.
d)
Tahap
generalisasi dan Spesialisasi
Pada
tahap pemerolehan,anak belum bisa langsung mengenal bahwa mawar,melati,anggrek
termasuk bunga. Anak masih mengenal bahwa setiap benda yang hidup dan tumbuh
pada pohon tertentu bernama bunga,atau bahkan dia menyebut seluruh tanaman
sebagai bunga.
b.
Tahapan
Pembentukan bahasa
a)
Aspek
Fonologis
Pada
tahap ini anak akan belajar menggunakan dan mengucapkan bunyi-bunyian secara
benar.
b)
Aspek
morfologis
Pada
tahap ini anak akan mempelajari sebuah kata dan mengubahnya dengan cara yang
benar, misalnya penggunaan kata-kata jamak,awalan dan imbuhan, penggunaan kata
yang memberi penjelasan dan juga penggunaan kata kerja.
c)
Aspek
sintaksis
Pada
tahap ini anak akan belajar membentuk kalimat dengan baik.
c.
Aspek
Penggunaan bahasa dan aspek Pragmatik
Dalam
fase ini anak akan menggunakan bahasa dalam konteks yang tepat dan untuk apa,
misalnya bila seseorang tengah bicara maka ia tidak akan bicara secara
bersamaan, tetapi ia akan menunggu sampai orang tersebut selesai bicara.
3)
Teori-
teori Pemerolehan Bahasa Pertama
Dalam pemerolehan bahasa pertama, terdapat dua
teori utama :
1)
Nativist
Theory (Hipotesis Nurani)
Teori ini dipelopori oleh Lenneberg dan Chomsky, yaitu bahasa merupakan warisan. Karena manusia sejak
lahir sudah dilengkapi dengan program genetic untuk berbahasa. Asumsi ini
menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa tidaklah dipelajari
atau diperoleh, akan tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari
organisme manusia. Hipotesis ini menekankan terdapatnya suatu ‘benda (LAD)’
nurani yang dibawa sejak lahir khusus untuk bahasa dan berbahasa. Language
Acquisition Device (LAD) ini berfungsi untuk memungkinkan anak memperoleh
bahasa ibunya.
2)
Learning
Theory
Teori ini lahir dari pakar psikologi dari Harvard B.F. Skinner
salah seorang tokoh behaviorisme yang menyatakan dalam bukunya Verbal Behavior
dalam Vender (1984:82) bahwa semua pengetahuan bahasa yang dimiliki oleh
manusia yang tampak dalam prilaku berbahasa merupakan hasil integrasi dari
peristiwa linguistic yang dialami dan diamati oleh manusia. Karena itulah dikenal
istilah teori pembelajaran bahasa pengkondisian operan, yaitu prilaku berbahasa
seseorang dibentuk oleh serentetan peristiwa beragam yang muncul dari sekitar
orang itu.
Sebagai penjelasan lebih lanjut dari teori ini bisa digambarkan
tentang bagaimana seorang bayi mulai berbahasa. Pada tahapan ketika anak
memperoleh system bunyi bahasa dari ibunya, semula dia mengucapkan system bunyi
yang ada di semua bahasa yang ada di dunia ini. Akan tetapi karena lingkungan
telah memberikan contoh terus menerus terhadap system bunyi yang ada pada
bahasa ibunya, dan dimotivasi terus untuk menirukan system bahasa ibunya, maka
yang akhirnya dikuasai adalah system bahasa ibunya.[1]
4)
Implikasi
teori pemerolehan bahasa tehadap proses pembelajaran bahasa
1)
Implikasi
dari teori behavioristik/ Learning Theory dalam proses pembelajaran dirasakan
kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus
dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya
pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada
diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
2) Implikasi teori ini dalam pengajaran
bahasa asing/bahasa kedua ialah adanya keyakinan bahwa manusia (yang normal)
dapat memperoleh atau mempelajari bahasa mana pun (hipotesis universal). Adapun
hasilnya sangat bergantung kepada banyak faktor, termasuk motivasi, kesempatan,
dan kualitas bawaan bahasa secara genetis (intelegensi bahasa).[2]
5)
Pemerolehan
Bahasa Kedua
a.
Teori
tentang pemerolehan bahasa kedua
1.
Teori
Monitor
Teori
belajar bahasa asing/bahasa kedua dengan model monitor mempunyai lima hipotesis
dasar, yaitu (1) hipotesis pemerolehan belajar, (2) hipotesis urutan alamiah,
(3) hipotesis monitor, (4) hipotesis masukan, dan (5) hipotesis saringan
afektif .
2.
Teori Pajanan Bahasa
Ada lima macam kompetensi yang saling mengisi
dalam belajar bahasa kedua, yaitu: (1) input (language expouser), (2) other
knowledge, (3) explisit linguistic knowledge, (4) implicit linguistic
knowledge, dan (5) output. Kelima macam pengetahuan ini, menurut Bialystok
(1980), merupakan tahapan yang harus dilalui
pembelajar. Artinya, jika pembelajar ingin berhasil dengan baik, maka dia
harus:
a.
Memiliki pengalaman bahasa melalui pajanan
(language expouser) yang selanjutnya disebut input.
b.
Memiliki pengalaman tentang dunia disebut other
knowledge.
c.
Memperoleh
pajanan bahasa secara tidak dasar menghasilkan implicit linguistic knowledge.
d.
Memperoleh
pembelajaran bahasa secara formal menghasilkan eksplisit linguistic knowledge.
e.
Memiliiki
kemampuan member respon dalam bahasa target dengan dua cara, yaitu: (1) respon
spontan, dan (2) respon tidak spontan. Variasi materi pembelajaran bahasa
sangat diperlukan jika menginginkan hasil yang optimal dalam pengajaran bahasa
asing/bahasa kedua. Ini merupakan realisasi tuntutan teori belajar language
expouser, Bialystok. Tujuannya ialah agar pengetahuan pembelajar tidak
terkungkung di dalam bingkai bahasa, tetapi harus mengenal dunia secara
komprehensif.
3.
Teori Akulturasi
Brown (1980a:129) memaknai teori akulturasi sebagai
proses adaptasi terhadap budaya baru. Proses adaptasi ini sangat penting dalam
pemerolehan bahasa kedua karena dia merupakan salah satu alat ekspresi budaya.
Selain alat ekspresi budaya, bahasa juga
sebagai alat komunikasi sosial.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa makin kuat
kemampuan pembelajar mengadaptasi budaya bahasa target, makin besar kemungkinan
berhasil mempelajari bahasa itu.
4.
Teori Akomodasi
Teori ini berasumsi bahwa dalam komunikasi dua
arah atau interaksi bersemuka, di satu sisi, pembicara berusaha menyesuaikan
diri dengan mitra tuturnya. Penyesuaian yang
dimaksud adalah modifikasi ujaran agar mudah diterima dan dipahami oleh mitra
tutur. Kebiasaan penutur asli menyederhanakan bahasanya ketika berbicara dengan
penutur asing adalah salah, satu bentuk modifikasi. Tujuannya ada dua, yaitu:
(1) mitra tutur memahami pesan atau tujuan komunikasi yang disampaikan, dan
dengan demikian akan terjalin komunikasi dua arah, dan (2) bahasa yang
termodifikasi akan menjadi masukan yang dapat dipahami (comprehensible input)
bagi mitra tutur. Demikian pula, kalau berbicara dengan anak-anak, orang tua
pada umumnya berusaha menyesuaikan bahasanya dengan bahasa anak-anak sehingga
terjadi komunikasi dua arah. Penyesuaian semacam ini disebut konvergensi atau
berkonvergensi. Di sisi lain, penutur
tidak menyesuaikan bahasanya dengan bahasa mitra tutur. Walaupun kadang-kadang
menyulitkan mitra tutur, namun, strategi ini memaksa mitra tutur untuk berusaha
memahami bahasa penutur. Dampak yang
diharapkan adalah tumbuhnya motivasi mitra tutur untuk terus meningkatkan
penguasaan bahasa target bagi penutur asing, dan bahasa orang dewasa bagi
anak-anak. Strategi demikian disebut
divergensi atau berdivergensi. Istilah simplifikasi (simplification) dikenal
dalam semua aliran atau pendekatan pengajaran bahasa. Strategi penerapannya pun
sama atau hampir sama pada semua pendekatan itu. Yang berbeda, mungkin, hanya
cara penyajiannya.
5.
Teori Wacana
Proses pemerolehan bahasa kedua mirip dengan
proses pemerolehan bahasa pertama. Dalam proses pemerolehan bahasa, pembelajar
juga mengembangkan kaidah struktur dan penggunaan bahasa melalui komunikasi
interpersonal. Kondisi ini sesuai dengan
asumsi hipotesis urutan alamiah yang mengklaim adanya kemiripan pemerolehan
bahasa kedua dengan bahasa pertama. Verifikasi kemiripan pemerolehan bahasa
kedua dengan bahasa pertama telah dilakukan oleh Hatch dengan kesimpulan sebagai
berikut.
1) Pemerolehan bahasa kedua mengikuti urutan
alamiah dalam pengembangan perangkat sintaksis.
2) Penutur asli sangat bijaksana ketika
berinteraksi dengan penutur asing sebagai upaya merundingkan makna atau pesan.
3) Strategi percakapan digunakan untuk
merundingkan makna, di samping berfungsi sebagai input yang berpengaruh
terhadap kecepatan pemerolehan bahasa kedua.
6.
Teori Variabel Kompetensi
Model atau teori ini didasarkan pada dua hal:
(1) proses penggunaan bahasa (process), dan (2) produksi bahasa (product).
Teori ini dipandang efektif menjadi kerangka acuan pemerolehan bahasa kedua.
Istilah proses (process) penggunaan bahasa dipahami dalam dua cara, yaitu: (1)
pengetahuan linguistik (kaidah bahasa), dan (2) kemampuan menerapkan kaidah itu
di dalam penggunaan bahasa (procedures). Widdowson (1984) mengidentifikasi
pengetahuan kaidah bahasa sebagai competence dan pengetahuan prosedur sebagai
kemampuan menggunakan kaidah bahasa dalam membangun wacana (capacity).
Pengetahuan kaidah bahasa berfungsi
mengawasi penggunaan kaidah di dalam wacana (communicative competence), dan
capacity adalah kemampuan mengembangkan makna di dalam wacana dengan melacak
potensi makna di dalam bahasa melalui komunikasi secara terus-menerus. Produksi
wacana melalui proses ini umumnya berwujud: (1) wacana yang direncanakan
(planned discourse), dan (2) wacana yang tidak direncanakan (unplanned
discourse). Implikasi teori variabel kompetensi dalam pembelajaran bahasa
asing/bahasa kedua adalah penyeimbangan pembelajaran kaidah bahasa dan
penerapannya di dalam penggunaan bahasa Dengan topik apa pun, materi
pembelajaran harus disajikan dalam wacana, baik wacana yang tidak direncanakan
(unplanned discourse) maupun wacana yang direncanakan (planned discourse).
7.
Teori Neurofungsional
Teori ini lebih dikenal dengan nama
Lamandella’s Neurofuctional Theory. Lamandella (1979) membedakan dua tipe dasar
pemerolehan bahasa: (1) primary language acquisition, dan (2) secondary
language acquisition. Yang pertama, berlaku pada anak usia 2-5 dalam
pemerolehan satu atau lebih bahasa sebagai bahasa pertamanya. Yang kedua,
terbagi dua bagian, yaitu: (a) belajar secara formal bahasa asing/bahasa kedua,
dan (b) pemerolehan bahasa kedua yang terjadi secara alamiah setelah anak
berusia di atas lima tahun. Kedua macam pemerolehan bahasa itu mempunyai sistem
neurofungsional yang berbeda, dan masing-masing mempunyai fungsi hirarkis.
Lamandella menunjukkan fungsi-fungsi hirarkis itu sebagai berikut.
1)
Hirarkis komunikasi: bertanggung jawab menyimpan bahasa dan simbol-simbol lain
melalui komunikasi interpersonal.
2)
Hirarkis kognitif: berfungsi mengontrol penggunaan bahasa dan kegiatan
pemrosesan informasi kognitif. Pola latihan-latihan praktis dalam pembelajaran
bahasa asing/bahasa kedua adalah bagian dari hirarki kognitif. [3]
b.
Hipotesis tentang pemerolehan bahasa kedua
Hipotesis seputar pemerolehan B2 sangat beragam, Dalam bukunya
“Psikolinguistik” hanya diangkat 2 sumber yaitu Klein dan Krashen (dalam
Nababan, 1992)
1.
Hipotesis
Klein: Kesamaan pemerolehan (Identity Hypothesis)
Menurut
klein, tidak ada relevansi apapun dari pemerolehan bahasa yang diperoleh
sesorang sebelum ia memperoleh bahasa lainnya. Artinya pemerolehan B1 dan B2
melalui proses yang sama, yang diatur oleh aturan-aturan yang sama.
2.
Hipotesis
Krashen: Pendekatan Alamiah
Menrut
Krashen pendekatan alamiah meliputi 5 butir hipotesis, yakni:
1.
Hipotesis
Pemerolehan lawan pembelajaran (Acquisition vs Learning)
Menurut
teori ini, seorang pembelajar B2 dewasa dapat mencamkan dalam hati (internalize)
aturan-aturan B2 melalui implicit (pemerolehan bawah sadar) dan cara eksplisit
(pemerolehan dengan sadar dan sengaja). Cara implicit selanjutnya dinamakan
pemerolehan (Acquisition) sedangkan yang eksplisit dinamakan pembelajaran
(Learning).
Dikotomi
ini dilandasi rumusan sebagai berikut:
a.
Pemerolehan
memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan B1, sedangkan pembelajaran
adalah pengetahuan secara formal.
b.
Dalam
pemerolehan, pembelajar B2 seperti memungut B2 (picking up), sedangkan dalm pembelajaran,
pembelajar B2 mengetahui mengenai B2.
c.
Proses
pemerolehan berlangsung bawah sadar (subconscious) secara implicit, sedang
pembelajaran berlangsung dengan sengaja secara eksplisit.
d.
Dalam
pemerolehan tidak diperlukan bantuan pengajar, sedangkan dalam pembelajaran
diperlukan guru.
2.
Hipotesis
masukan (Input Hypothesis)
Dalam hipotesis ini, kita memperoleh bahasa dengan masukan yang
sedikit lebih sukar dari tingkat kemampuan berbahasa yang sedikit lebih sukar
dari tingkat kemampuan bahasa yang telah kita peroleh. Disini kita diharapkan
dapat meningkat dalam mengerti unsur dan butir struktur bahasa yang disebut i+1
(dimana i adalah tingkat kemampuan bahasa sekarang dan +1 menandakan penambahan
ke tingkat berikutnya). Dalam hal ini diperlukan peran orang dewasa di
sekeliling anak untuk mengajar bahasa (memudahkan pemerolehan bahasa) dengan
cara memodifikasi bahasa dalam berbagai ragam. Dengan demikian masukan yang
diberikan pada anak meliputi angka kebahasaan berikutnya yang sesuai dengan
rumus i+1.
3.
Hipotesis
Urutan Alamiah (Natural Order Hypothesis)
Pemerolahan B2 dalam hal struktur berjalan menurut urutan yang
dapat diperkirakan. Misalnya, kata-kata tugas (function words) diperoleh lebih
awal daripada struktur lainnya.
4.
Hipotesis
Monitor
Pembelajaran dengan sadar memrlukan pemantauan (monitor) dan
penyuntingan (editing). Kalau kita mengatakan sesuatu dalam B2, ucapan itu akan
dicek kebenarannya oleh monitor itu. Dalam pikirannya, pembelajar B2 memusatkan
perhatiannya pada bentuk dan kebenaran bentuk dari ucapannya secara tata
bahasa, dan untuk mencapainya ia harus mengetahui kaidah tata bahasa B2.
Pengguna monitor dikategorikan:
(1)
Overusers
jika mereka mempunyai tuntutan yang terlalu tinggi sehingga terlalu hati-hati
dan terkesan kurang lancer perilaku berbahasanya;
(2)
Underusers
jika mereka hanya mengandalkan pada apa yang waktu itu diketahuinya tanpa
memikrkan kaidah sebenarnya sehingga dalam berkomunikasi tidak mengindahkan
akurasinya;
(3)
Optimal
users jika mereka menggunakan hasil pembelajarannya sebagai pelengkap
pemerolehannya sehingga dalam berkomunikasi monitor digunakan sewajarnya dan
berkesan sebagai penutur asli dalam pembicaraanya.
5.
Hipotesis
saringan efektif (affective filter)
Pelajar B2 yang memiliki motivasi tertentu, yakni yang ingin menyamai penutur asli, dan
yang percaya diri biasanya lebih berhasil dari pembelajar B2 yang tidak
bermotivasi dan percaya diri. Disamping itu keberhasilannya ditentukan dengan
rendahnya tingkat kekhawatiran pembelajar sehingga sikap positif ini berimbas
pada hambatan atau saringan afektif yang rendah. Artinya pembelajar tidak memiliki
persaan ketegangan atau kekhawatiran sehingga pembalajar lebih terbuka terhadap
masukan bahasa yang nantinya akan melekat pada pikiran. Sikap positif ini
mendukung 2 hasil (1) pembelajar menerima dorongan untuk memperoleh masukan
yang lebih banyak lagi dan (2) pembelajar menjadi lebih reseptif menerima
masukan yang diperoleh sehingga kemajuannya lebih cepat.[4]
c.
Implikasi
Hipotesis dan teori terhadap proses pembelajaran bahasa kedua
Pembelajaran bahasa merupakan proses pemerolehan bahasa kedua (B2) setelah
seorang kanak-kank memperoleh bahasa pertamanya (B2). Proses pemahaman seorang
kanak-kanak yang akan merespon dan memaknai suatu bahasa atau lambing tertentu.
Proses yang dilalui dengan proses penguasaan dengan secara sadar dan tidak
dapat diperoleh secara alamiah seperti bahasa pertama (B2).Dampak Bahasa Ibu
(B1) dalam Pemerolehan Bahasa Kedua
Pemerolehan bahasa
pertama (B1) sudah barang tentu mempunyai dampak terhadapi anak untuk mendapatkan
bahasa kedua (B2) yaitu misalnya bahasa Indonesia yang baik dan benar. Awal
dari pemerolehan bahasa tersebut dimulai sejak masa kanak-kanak menguasai
bahasa pertamanya. Dimana sejak kanak-kanak memperoleh pengetahuan baru
mengenai bahasa keduanya. Merupakan sebuah proses pemahaman yang membantu
seorang kanak-kanak untuk dapat mengerti bahasa keduanya.
Bahasa pertama merupakan bahasa ibu, bahasa yang dipelajari oleh seseorang
di masa kanak-kanak pada awal pemerolehan bahasa. Oleh karena itu pada umumnya
bahasa pertama (B1) merupakan bahasa daerah. Beragam bahasa yang ada di
Indonesia yang pada umumnya menjadi bahasa pertama seseorang. Bangsa Indonesia
memiliki latar belakang budaya, suku dan kebiasaan tertentu dimasyarakat. Hal
ini cenderung mempengaruhi bahasa seseorang, misalnya penggunaan dialek
bahasa-bahasa daerah di Indonesia yang memang bervariasi. Belum lagi adanya
persamaan makna atau penafsiran tertentu di suatu daerah satu dengan daerah
lainnya.
Selain itu berbeda dengan pasangan orang tua yang berasal dari daerah yang
berbeda dengan bahasa yang berbeda pula dan lingkungan yang berbeda dengan
kedua bahasa orang tuanya maka anak akan memperolah bahasa yang beraneka ragam
ketika bahasa Indonesia diperolehnya di sekolah akan menjadi masukan baru yang
berbeda pula. Hal ini pula mempengaruhi pada pembelajaran bahasa kedua
seseorang.
Pemerolehan bahasa kedua dilakukan dengan proses, dibutuhkan perkembangan
kanak-kanak tersebut sehingga benar-benar fasih menggunakan bahasa
keduanya. Kefasihan seorang anak untuk menggunakan dua bahasa sangat
tergantung adanya kesempatan untuk menggunakan kedua bahasa itu. Jika
kesempatan banyak maka kefasihan berbahasanya semakin baik (Chaer, 1994:66).
Semakin sering pengunaan dan pemakaian bahasa kedua, baik secara formal maupun
informal maka hal ini akan membantu pada proses pemahaman dan kefasihan
pemakaian bahasa keduanya. Misalnya pada hipotesis variasi individual
penggunaan monitor yakni seseorang yang menggunakan bahasa tanpa memonitor
pemakaian bahasanya akan lebih cepat dalam belajar bahasa (Chaer, 2003:250).
Hal ini seseorang terus menerus menggunakan bahasa tanpa aturan, namun jumlah
pemakaian bahasa itu yang dilakukan terus-menerus sehingga proses pemerolehan
bahasa akan lebih cepat.