BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Islam merupakan agama yang mempunyai sejarah pergulatan teologi yang
panjang. Dengan rentang sejarah yang panjang itu, teologi Islam pernah
menancapkan sebuah fakta untuk turut serta meramaikan pergulatan intelektual
dalam pentas peradaban ilmu pengetahuan dan politik dunia. Berbagai konsep dan
sudut pandang teologis muncul secara dialektis dalam atmosfir kebudayaan Islam.
Secara konsvensional Islam memang mempunyai bangunan ketuhanan yang
sifatnya monoteis. Sebuah agama yang mempunyai keyakinan tentang Tuhan yang
satu. Namun, dalam realitas empiriknya, Tuhan yang satu tersebut melahirkan
beragam pandangan dan konsep teologis yang berbeda-beda. Artinya meskipun Tuhan
sebagai obyek keyakinan umat Islam sama yakni Allah, namun ketika Allah yang
satu itu direspon dan dipahami oleh banyak indifidu umat Islam sejagad, maka
justru melahirkan beragam konsep ketuhanan.
Perbedaan pandangan teologis itu berangkat dari beragamnya logika
forma atau paradigama, sudut pandang dan perspektif yang digunakan oleh umat
Islam sendiri dalam menangkap dan menafsirkan Tuhan. Satu pihak umjat Islam ada
yang menggunakan perpsketif logis, yakni usaha memahami Tuhan melalui rasio.
Ada yang lebih mendasarkan pemahamannya melalui intuitif. Di sisi lain ada yang
cukup puas dengan informasi teks dan seterusnya.
Selain dari itu, di samping banyaknya pendekatan yang digunakan oleh
umat Islam dalam memahami Tuhan, hal yang turut serta menyeruakkan
bermacam-macamnya konsep teolog Islam adalah berkaitan dengan wajah Tuhan itu
sendiri. Syaikh Akbar Ibnu ‘Arabi membagi Tuhan pada dua wajah: Dzat dan Sifat.
Wajah Tuhan yang terdiri dari dzat dan sifat ini menyebabkan munculnya
perbedaan pandangan di kalangan para mutakallim. Ada yang menyatakan bahwa
Tuhan mempunyai sufat dan ada juga yang tidak myakini bahwa tuhan mempunyai
sifat.
Beraneka ragamnya konsep teologi tersebut, akhirnya juga membawa
beraneka ragamnya pola hidup dan pola pikir umat Islam. Bagi umat Islam yang
masuk pada kubu Jabariyyah akhirnya lebih cenderung fatalistik. Hal ini karena
pakem teologi Jabariyyah adalah menyerahkan segala sesuatunya pada Tuhan.
Sementara bagi umat Islam yang menjadi penganut Qodariyyah menjadikan umat
Islam pada kelompok ini mempunyai sikap hidup yang optimis. Karena konsep
teologi mereka menyatakan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia merupakan
tanggung jawab manusia. Oleh karena itu, termasuk nilai baik dan buruk adalah
berasal dari manusia dan bukan dari Tuhan. Pola hidup dan pola pikir lainnya
juga ditunjukkan oleh kelompok lainnya yang mempunyai konsep teologi berbeda.
Dinamika dan dialektika sejarah teologi umat Islam di atas hingga
kini masih terus menemukan geliatrnya, bahkan dalam kontek Indonesia justru
mengalami penguatan. Munculnya gerakan-gerakan puritanisme Islam yang mengusung
tema-tema radikalisme Islam, menuntut menarik Islam ke era awal adalah
representasi dari menguatnya penanaman teologi wahabi dan salafiyah. Lahirnya
konsep teologi ini sebagiannya ditopang oleh lahirnya gerakan pembaharuan yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam yang masuk kategori neokonservatisme.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas, adalah tugas penulis untuk menjelaskan
masing-masing pengertian judul dan keterkaitannya. Mengenai batasan dan rumusan
masalah pada makalah ini, kami mengutamakan pada dua point, yaitu :
1.
Bagaimana
perkembangan sejarah teologi islam?
2.
Bagaimana
peta pemikiran aliran-aliran teologi islam?
1.3. TUJUAN
PERMASALAH
Dilihat dari rumusan masalah diatas
dapat di ketahui tujuan dari permasalahan ini adalah:
1.
Mengetahui
perkembangan-perkembangan yang terjadi pada pemikiran-pemikiran islam (teologi
islam)
2.
Mendeskripsikan
apa yang yang terjadi pada pemikiran aliran-aliran islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
SEJARAH
TEOLOGI ISLAM
Pada
dasarnya persoalan teologi islam berawal dari masalah politik. Jika ditinjau
dari makna politik dan teologi memang tidak terdapat hubungan diantara
keduanya. Namun, kedua aspek tersebut mempunyai hubungan yang erat jika kita
tinjau melalui sejarah perkembangan islam setelah wafatnya Rasulullah.
Secara garis besar periode Teologi Islam (Tauhid/Kalam)
terbagi dalam empat periode, yaitu:
- Periode
Pra Klasik (610-650 M)
- Periode
klasik (650-1250 M),
- Periode
pertengahan (1250-1800 M)
- Periode
modern (1800 dan setererusnya).
2.1.1 Periode Pra Klasik (610-650 M)
a. Fase Pembentukan Agama (610-622
M)
Teologi pada fase ini berada pada
masa hidupnya Nabi Muhammad SAW , yaitu teologi yang masih satu,. Teologi pada
masa kepemimpinan Rasulullah SAW yang masih satu, dibawah tuntunan nabi
Muhammad SAW yang secara langsung mendapatkan bimbingan Wahyu dari Allah yang
disampaikan oleh malaikat Jibril, belum ada aliran-aliran yang lain.
Pada fase ini Rasulullah SAW masih
berada di Makkah dan belum hijrah ke Madinah. Pada masa di Makkah Rasulullah
SAW hanya mempunyai fungsi sebagai kepala agama dan tidak mempunyai fungsi
kepala pemerintahan.
b. Fase Pembentukan Negara (622-632)
Fase ini masih berada pada masa
hidupnya Rasulullah SAW dan bertempat di Madinah. Fase ini dimulai dari
Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah pada tahun 622 M. Adapun di Madinah,
Nabi Muhammad SAW disamping menjadi kepala agama juga menjadi kepala
pemerintahan.
c. Fase Praekspansi (632-650 M)
Teologi pada fase ini berada pada
masa Khulafa’ Ar Rosidin. Yaitu dimulai dari wafatnya Nabi Muhammad SAW pada
tahun 632 M. Khulafa’ ar Rosyidin merupakan pemimpin umat Islam setelah Nabi
Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dimana sistem pemerintahan yang
diterapkan adalah pemerintahan yang demokratis.
2.1.2 Periode klasik (650-1250
M).
Teologi yang berkembang di era klasik ini adalah teologi sunnatullah
atau teologi yang berdasarkan pada hukum alam (natural law). Teologi natural
pada prinsipnya keberimanan yang berdasarkan hanya pada rasio, teologi ini
kajiannya murni filsafat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
filosofis. Sehingga produk teologi yang dihasilkan adalah teologi yang dibangun
berdasarkan argumen-argumen logis-rasional.
Ciri-ciri
teologi natural (sunnatullah) ini adalah :
-kedudukan akal
yang tinggi
-kebebasan
manusia dalam kemauan dan perbuatan.
-kebebasan
berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan Haditas yang
sedikit sekali jumlahnya.
-Percaya pada
adanya sunnatullah dan kausalitas
-mengambil dari
metaforis dari tek wahyu
-Dinamika dalam
sikap dan berpikir.
Lahirnya teologi sunnatullah atau natural ini didukung oleh lahirnya
iklim dialog antara dunia Islam dengan alam pemikiran Yunani. Ketika dunia
Islam mulai bersentuhan dengan peradaban Yunani, maka rasionalisme mulai
bergeliat dalam dunia Islam. Semangat rasionalisme yang ada dalam filsafat
inilah yang dijadikan oleh para pemikir Islam untuk membangun teologi.
Di anatara para filsof Yunani, Aristoteles adalah yang paling
menarik bagi orang-orang Islam. Dari dia para pemikir muslim mengambil terutama
metode berpikir sistematis dan rasional, yaitu al-Manthiq (logika formal), di
samping biologi, ilmu bumi matematis dan lain-lain. Mereka memandangnya sebagai
“al-mu’allim al-awwal” (guru pertama). Aristotalianisme dengan demikian menjadi
bagian integral dari khazanah pemikiran Islam. Tetapi sesungguhnya, pemahaman
kaum muslimin terhadap pikiran guru pertama itu, secara keseluruhannya, adalah
terjadi melalui teropong neoplatonisme, karena sebagian besar lewat karya-karya
para penafsir, khususnya karya-karya plotinus dan Prophiry. Salah satu karya
kefilsafatan yang amat bgesar pengaruhnya kepada dunia pemikiran filsafat Islam
adalah “Theologia Aristotelis”.
Dengan logikia formal yang demikian itu, maka bangunan teologi Islam
di masda klasik poenuh vitalitas rasionalisme. Sehingga pembuktian Tuhan
mempunyai dasar ragumennya yang rasionalistik. Bukan hanya itu, persolaan
tentrang proses penciptaan alam semesta yang termasuk bagian dari teologi juga
mempunyai dasar rasionalismenya. Seperti para filsof paripatetik yang mempunyai
konsep penciptaan alam melalui penjelasan akal pertama, akal kedua, akal ketiga
dan seterusnya.
Periode klasik ini secara umum terbagi menjadi dua. Pertama adalah
periode klasik (650-1000) yaitu periode zaman di mana daerah Islam mulai meluas
melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai mke India
di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya
berkedudukan di Madinah, dan kemudian di Damsyik dan terakhir di Baghdad. Di
masa inilah berkembang dan maju pesat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang coraknya bermacam-macam seperti fiqh,
filsafat, sufusme dan termasuk teologi. Dari periode ini ulama –ulama fiqh yang
mucul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii. Sementara dalam bidang
teologi ulama-ulama yang lahir adalah Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, Washil
Bin Atho’ Abu Huzail, Al-Nizam dan Al-Jubai.
Kedua adalah faee disintegerasi (1000-1250 M). Di masa ini persatuan
dan kesatuan umat Islam mulai mengalami kemunduran. Konflik poloitik seringkali
melanda sehingga klimkanya adalah hancurnya imperium Islam yang menyebabkan
Baghdade berhasil dikuasasi oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.
Karena semangat pemikirannya yang cenderung antoposentris itulah,
maka teologi di abad klasik ini termasuk teologi Qadariyyah. Paham ini terkenal
dengan nama free wil,.dan free act. Artinya manusia mempunyai kebebasan atau
kemerdekaan dalam menentukan hidupnya. Seluruh prestasi yang dihasilkan oleh
manusia bukanlah dari Tuhan melainkan dari manusianya sendiri karena manusia
diyakini mempunyai kekuatan dan kapabelitas untuk menghasilkan prestasi
tersebut.
Teologi sunnatullah atau Qadariyyah ini bukan sekedar beroreintasi
pada kehidupan kahirat, melainkan juga mempunyai target dunia. Oleh karena itu,
di era Qadariyah ini, di samping basis keimanan umat Islam karena ditopang oleh
rasionalisme, bidang-bidang lain seperti ekonomi, politik dan sejenisnya
mengalami kemajuan pesat. Mesir, Suriah dan Persia, ketika itu menjadi pusat
perdagangan rempah-rempah, sutra dan lain-lain di Timur Tengah. Hasil-hasil
yang berasal dari Timur di bawa ke Barat harus melalui daerah-daerah tersebut.
Kairo, Alexandria, Damsyik, Baghdad dan Siraz (Persia) menjadi kota-kota dagang
yang penting.
Sementara itu di bidang tasawuf yang berkembang adalah tasawuf
falsafi. Tasawuf falsafi merupakan sebuah pemikiran atau aktifitas untuk
mengenal lebih dekat kepada Tuhan tetapi tetap menggunakan pemiiran filosofis.
Dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, para sufi menempuh jalan panjang dan sulit
meskipun akhirnya sampai uga pada tujuan mereka. Dalam mendekatkan diri, mereka
dihinggapi leh rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan, sehingga mereka di
stasiun al-mahabbah atau cinta ilahi. Kalau cinta mereka dibalas Tuhan
mereka akan meningkat ke level yang lebih tinggi, yaitu al-ma’rifat.
Bukan hanya itu, pada zaman klasik ini sains juga mengalami kemajuan
pesat meskipun tidak sepesat era sekarang. Ilmu kedokteran banyak dikembangkan
oleh para ahli seperti Ibnu Rusd, AlRazi dan Ibnu Shina. Ilmu kimia mengalami
kemajuan di tangan jabir dan Ala-razi. Sumbangan ulama Islam bagi ilmu kimia
lebih banyak dari yang diberikan oleh orang-orang Yunani. Matematika
dikembangkan oleh al-Khawarizmi, Umar Al-Khayam. Angka kosnong (nol) adalah
penhemuan ulama Islam yang ikemudian bersama angka Arab lainnya dibawa ke Eropa
pada permulaan abad ke dua belas M. Astronomi berkembang di tangan Al-Fazzari ,
AlFarghani dan lain-lain.
2.1.3 Periode Pertengahan ((1250-1800 M)
Pada periode ini telah terjadi pembalikan sejarah antara Islam dan
Barat. Islam yang di era klasik bisa mencapai kejayaan ilmu pengetahuan dan
teologi berkat dialognya dengan dunia Barat, maka di era pertengahan ini Islam
justru mengalami era kegelapan (the darkness age). Setelah Timur
berhasil dihancur leburkan oleh kengiskhan dan hulaghu khan, maka hampir semua
literatur –literatur Islam di bawa oleh para pem\njajah tersebut ke Barat
sementara sebagian yang lain telah mereka bakar.
Pada periode pertengahan juga di bagi dua. Periode pertengahan I
(1250-1500) adalah fase kemunduran. Pada fase ini bubut-bibit perpecahan dan
disintegrasi antara umat Islam mengalami eskalasi. Konflik antara Sunni dan
Syai’ah semakin menajam. Di sisi lain secara geofrafis dunia Islam hancur
berkeping-keping mnejadi pecahan-[ecahan kecil akibat kuatnya disintegrasi.
Secara umum teritori Islam terbagi dua yaitu bagian Arab yang terdiri dari
Arabia, Suria, Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya.
Ke dua yaitu bagian Persia yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil, Persia
dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.
Fase II adalah Fase tiga kerajaan besar (1500-1800) yang dimulai
dengan zaman kemajuan (1500-1700) dan zaman kemunduran (1700-1800). Tiga
kerajaan besar itu adalah kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat
di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Di masa
kemajuan ini masing-masing kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing
khsususnya di bidang literatur dan seni arsitektur. Namun, bila dibandingkan
dengan kemajuan di era klasik, kemajuan di era ini sumgguh jauh. Karena pada
era pertengahan ini perhatian umat Islam terhadap ilmu pengetahuan masih
merosost tajam alais masih sangat rendah.
Karena perhatian dan apresiasi ter5hadap ilmu pengetahuan atau
filsafat rendah, maka teologi yang berkembang pada periode pertengahan ini
adalah teologi Jabariyyah. Ciri-ciri teologi ini adalah:
- Kedudukan akal rendah
- Ketidakbebasan dalam kemauan dan perbuatan
- Kebebasan berpikir yang diikat oleh banyak dogma
- Ketidakpercayaan kepada sunnatullah dan kausalitas
- Terikat pada arti literal al-Qur’an dan Hadits
- Statis dalam sikap dan berpikir
Kedudukan akal yang rendah menjadikan umat Islam tidak lagi merumuskan
teologi baru yang benar-benar bernas dan bergairah hingga menjadiukan umat
bertindak dan berpiokir progresif. Pada periode ini yang berkembang bukan lagi
berfastabiqul khairot untuk berijtihad , tetapi justru sebaliknya mayoritas
umat Islam berduyun-duyun berteduh di bawah pohon taqlid. Sikap umat Islam yang
semacam, ini menyebabkan semangat dan aktifitas intelektual di dunia muslim
menjadi mandek total.
Selanjutnya, karena tidak adanya pemikiran logis yang mempau
meerenungkan alam semesta, sebagaimana yang dipraktikkan oleh para pemikir dan
filsof muslim, maka kreatifitas berpikir untuk mewrumuskan teologi-teologi baru
tidak nampak. Umat Islam hanya percaya bahwa seluruh jagad raya ini adalah
dikendalikan oleh yang maha satu yaitu Allah SWT.
Kondisi yang dekaden ini justru diperparah dengan distrosi terhadap
nilai-nilai Tasawuf. Tasawuf yang di era klasik menjadi pemicu kemajuan, kini
di era pertengahan di jadikan sebagai tarikat. Praktik sufisme yang sudah
mengental menjadi praktik tarikat ini akhirnya menjadikan seluruh aspek tasawuf
tergerus menjadi tasawuf amali dan tasawuf falsafi yang akarb dengan aktifitas
dan semangat perenungna, berpikir, berfilsafat dan refleksi menjadi tidak
berlaku.
Dalam teologi Jabariyyah tang statis dan fatalistik ini, berlaku
sebuah keyakinan bahwa manusia tidak mmempunyai kehendak, tidak mempunyai
kekuasaan dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya
adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.
Dengan pandangan semacam ini, maka manusia tidak lebih dari sebuah
wayang yang digerakkan oleh seorang dalang. Seluruh perbuatan manusia adalah
perbuatan yang dipaksakan oleh Allah kepada manusia itu sendiri. Perbuatan ini
tidak muncul dari kemauannya sendiri. Termasuk masalah keburukan adalah bukan
kehndak manusia, melainkan dari kehendak Tuhan. Jadi, bagi teologi abad
pertengahan ini, manusia yang mencuri atau korupsi itu pada dasarenya bukan
kehendaknya sendiri, melainkan kehendak Tuhan yang dipkasakan kepada manusia
itu.
Namun karena seperti yang telah disinggung di atas, bahwa karena
teologi Islam adalah lahir dari masalah politik, maka di dalam paham ini
sebebnarnya kuat sekali tendensi politiknya. Hal ini nampak sekali pada
penguasa daulah Umayyag di Damaskus. Seolah-olah karena didorong oleh keperluan
membela sahabat utsman Bin Affan, tetapi yang pasti itu hanyalah sekedar topeng
belaka, kepentingan utamamnya adalah untuk kepentingan politiknya sendiri. Bila
diperingatkan bahwa tindakan-tindakan mereka yang menindas rakyat dan mengekang
perkembangan pemikiran di kalangan ummat itu menyalahi semangat Islam dan bahwa
mereka harus mempertanggung jawabkan kedhaliman itu di hadapan ummat, selain di
hadapan Tuhan kelak di akhirat, rezim Umayyah itu menolak dengan mengatakan
bahwa kami tidak bisa diminta tanggungjawab atas tindakan-tindakan kami. Sebab
Tuhanlah yang menghendaki semuanya itu. Hanya padaNyalah kekuasaan untuk
menentukan kebaikan atau keburukan.
Dengan teologi yang demikian itu, maka produktifitas para ulama di
masa ini menurun drastis. Hasiul-hail karya yang sejak era klaisk bisa
berkembang pesat dengan berbagi fan keilmuan, di era pertengahan ini mengalami
mati suri. Begitu juga di bidang lain seperti ekonomi dan, industri dan
pertanian juga menurun drastis. Hanya di bidang politik yang agak menonjol
karena pada zaman poertengahan ini masih dijumpai tiga imperium besa yaitu
Turki Utsmani, Safawi dan Mughal.
2.1.4 Abad
Modern (1800 dan seterusnya)
Istilah modern, secara umum, berasal dari kata moderna yang
artinya sekarang (Jerman:Jetzeit). Dengan pengertian itu kita tahu bahwa yang
disebut modern, manakala semangat kekinian menjadi kesadaran seseorang. Jadi
kalau ada orang atau masyarakat hidup di era sekarang tapi kesadarannya berada
di abad tengah maka pertanda mereka bukan modern, tetapi manusia primitif. Abad
modern ini merupakan spirit zaman baru (zeitgeist) yang berada di abad
19. sebagai bentuk peradaban dan semangat zaman, modernitas dicirikan oleh
tigal hal yaitu indifidualistik, rasionalisme dan kemajuan.
Ketika memasuki abad ke 19 umat Islam mengalami keterkejutan yang
luar biasa. Sebab, pada era ini Eropa atau Barat, yang di era klasik masih
berada dalam kegelapan dan kemunduran, kini justru berbalik menjadi pusat
beradaban dunia. Era kemajuan di Barat inilah yang populer disebut sebagai abad
modern. Abad modern adalah masa peralihan dari kebudayaan teosentris ke
antroposentris, peralihan dari peradaban langit ke peradaban bumi, dari
metafiskikan ke fisika, dari immateri ke materi. Peradaban ini pada hakekatnya
adalah hasil renaissance dan pencerahan (enleighment) yang
terjadi di eropa. Era renaissance adalah era lahirnya kebebasan dan
terlepasnya kehidupan dari norma-norma agama. Era renaissance ini ditandai oleh
munculnya pengetahuan baru yang didapatkan melalui intensitas observasi dan
pengamatan alam semsta. Pada taraf ini dunia atau alam semesta menjadi daya
tarik utama untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Dari sini berkembanglah ilmu
astronomi dan geography. Meskipun sebelumnya, di dunia Islam ilmu-ilmu semacam
ini sudah pernah ditemukan oleh para pemikir muslim.
Indikasi selanjutnya adalah bahwa modernitas ini ditandai juga oleh
penelitian dan pengkajian terhadap tek-tek klasik yang berasal dari Yunani
kuno, Islam dan Cina. Yang menarik di sini adalah, ternyata Islam juga
merupakan faktor penentu lahirnya modernistas di Barat. Memang periode klasik
Islam telah melahirkan peradaban Islam, yang berpengaruh terhadap peradaban
Barat. Pengaruh ini diakui oleh pengarang-pengarang Barat seperti Gustave Le
Bon, Jacques Risler, Rom Landau dan Alfred Guillaume.
Semangat zaman yang antroposentris ini akhirnya melahirkan berbagai
sikap hidup di antaranya adalah sikap kritis. Sikap kritis ditujukan terhadap
dogma-dogma agama yang sudah sekian tahun membatu. Sikap yang lain adalah
humanisme. Sikap ini ditunjukkan dengan maraknya berbagai hasil karya seni
seperti musik, lukis, patung atau drama yang lebih mengangkat manusia dasripada
eksistensi Tuhan. Seperti lukisan Leonardo Davinci tentang Monalisa. Lukisan
ini merupakan pertanda terjadinya peralihan peradaban dari yang sebelumnya
berbasis pada nilai teosentrisme menuju ke wilayah humanisme.
Sebelum pintu modernitas benar-benar terbuka, di Barat telah muncul
beberapa pemikir atau filsof yang mulai melncarkan serangan-serangannya
terhadap peradaban abad pertengahan. Abad pertengahan adalah abad yang lebih
mengunggulkan Tuhan, lebih membela wahyu daripada akal. Era ini ditandai oleh
kuatnya otoritas gereja atas segala peradaban dan kebudayaan. Oleh karena itu
tokoh-tokoh pemikir di ambang modernitas berusaha untuk mendobrak tatanan atau
sistem rezim gereja yang memnindas itu. Dalam hal ini Nicollo Machiavelli
(1469-1527) yang mempelopri untuk menyerang sistem politik gereja yang absolut,
kemudian Giordano Bruno (1548-1600) yang dengan gencar mengkritik pakem-pakem
agama (gereja) dan Francis Bacon (1561-1626) yang mulai intens menegakkan
semangat ilmu pengetahuan dengan semboyannya knowledge is power.
Dengan gugatan dan serangan-serangan kritis dari para filsif itulah,
fajar modernitas akhirnya muncul. Lahirnya modernitas ini secara epistemologis
ditandai oleh bamngkitnya kembali rasionalitas yang sebelumnya, yakni di era
pertengahan, telah dipasung dengan ketat. Maka modernitas ini secara eksplisit
merupakan era kemerdekaan bagi rasio. Kemerdekaan rasion ini secara simbolik
dideklarasikan oleh Descartes (1596-1650) dengan statemennya cogito ergo
sum (aku berpikir maka aku ada).
Melihat fajar pencerahan dan kebangkitan peradaban di Barat yang
berkembang pesat itu, hal itu seolah menyentak umat Islam dari tidur panjangnya
yang dia lakukan sejak era pertengahan. Ketika modernitas ini muncul Barat,
maka umat barus melek bahwa umat Islam telah mengalami dekadensi dan kemunduran
yang luar biasa. Akibat kemundurannya itu, umat Islam akhirnya menjadi obyek
penjajahan Barat. Salah satu bukti konkritnya adalah hancurnya tiga kerajaan
besar– yang di era pertengahan masih eksis— oleh ekspansi dan imperialisme
bangsa Barat. Turki Utsmani yang pernah berjaya di abad pertengahan mengalami
kekalahan dalam perangnya di Eropa, kerajaan Safawi di Mesir, dalam waktu tiga
minggu berhasil ditaklukkan oleh Napoleon Bonaparte dan kerajaan Mughal di
India telah dihancurkan oleh Inggris.
Melihat dahsyatnya imbas peradaban modern terhadap dunia Islam
tersebut, para pemikir muslim akhirnya terlecut untuk berpikir keras merumuskan
teologi yang bisa membangkitkan kembali girrah umat Islam untuk mencapai
kejayaannya yang telah sirna. Muncullah kemudian para mujadid baru dalam dunia
Islam dengan menawarkan berbagai ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan
mengejar ketertinggalannya dari Barat. Atas semangat ini dunia Islampun mulai
ikut memasuki rimba raya modernitas.
Namun, usaha-usaha pembaharuan atau modernisasi dalam dunia Islam,
sebenarnya sebelumnya telah dimulai dari sebuah zaman yang disebut modern ini.
Usaha-usaha itu terutama dijalankan oleh kerajaan Utsmani. Dalam peperanganya
dengan negara-negara Eropa, kerajaan Turki Utsmani pada awal abad ke 17,
mengalami mkekalahan dari Peter Agung dari Rusia. Dengan modernisasi yang
dilakukan oleh Rusia, Rusia menjadi lebih kuat dari Turki Utsmani. Hal ini
akhirnya, membuat sultan-sultan Utsmani juga ingin mengadakan modernisasi di
Turki, terutama di lapangan militer. Usaha-usaha yang modernisasi yang
dijalankan oleh sultan Utsmani pada waktu itu lebih terpusat pada usdaha untuk
memperkuat kekuatan militer.
Di antara tokoh-tokoh mujadid atau pemikir-pemikir baru Islam yang
sangat getol mengusung isu-isu modern adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridlo,
Jamaluddin Al-Afghani, Zia Gokalp, Seyyid Ahmad Khan dan seterusnya. Para
pemikir dan filsof ini adalah tokoh-tokoh pembaharu yang mencoba menyerukan
untuk kembali kepada teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis
dan ilmiah zaman klasik di kalangan ulama dan umat Islam zaman modern.
Untuk merealisasikan semangat teologi tersebut, maka pada abad ke 19
mulai didirikan sekolah-sekolah moderrn gaya Barat di Mesir, Turki dan India.
Di sekolah-sekolah ini semnagat ilmiah mulai dihidupkan kembali. Pola berpikir
yang rasional, filosofis dan ilmiah mulai dibudayakan. Namun meskipun demikian,
program dan tawaran para mujadid untuk kembali ke teologi sunnatullah yang
mengedepankan rasionalitas itu dalam realitas empiriknya tidak mendapat
apresiasi oleh seluruh umat Islam di dunia. Masih banyak masyarakat muslim yang
justru menentang modernitas. Mereka justru berusaha untuk tertutup dan tak
bersedia menyerap nilai-nilai modernitas. Namun usaha para mujadid awal seperti
Muhammad Abduh dan kawan-kawan untuk kembali ke teologi Sunnatullah tetap ada
hasilnya. Dengan digaungkannya teologi sunnatullah untuk mengimbangi peradaban
modern Barat itu, produktifitas dan kreatifitas umat Islam mulai meningkat
kembali meskipun itu masih jauh dari Barat.
Di samping semangat rasionalitas yang ada dalam teologi sunnatullah,
unsur lain yang turut dikampanyekan oleh para pemikir atau mujadid masa-masa
awal adalah perlunya untuk kembali kepada al-Qur’an dan hadits. Sebagian para
mujadid berasumsi bahwa di samping faktor politik yang sudah rapuh, salah satu
sebab mundurnya umat Islam adalah dipicu oleh kuatnya takahyyul, bid’ah dan
khurofat yang berekmbang di dunia umat Islam. Umat Islam, selama ini
terjerembab ke dalam jurang mistik yang dalam sehingga tidak bisa berpikir
secara jernih dan rasional.
Oleh karena itu dengan kembali ke al-Qur’an dan Hadits itu
dimakusdkan agar umat Islam bisa kembali berpikir jernih dan tidak terperangkap
oleh takahyyul dan mitos-mitos agama. Di samping itu, dalam memahami al-Qur’an
diharapkan umat Islam lebih rasional.
Dari sini bisa diketahui bahwa gerakan pembaharuan umat Islam untuk
kembali kepada teologi sunnatullah adalah mirip dengan gerakan modernisme di
Barat yang mana otoritas gereja yang lebih mengedepankan mistik dan dogma-dogma
agama. Namun karena pola berpikir mistik dan penuh takhayyul tersebut yang
sudah sedemikian rupa mendarah daging di kalangan umat Islam agaknya sulit
untuk ditanggulangi. Entah karena ketakutannya atau karena sudah terlalui enak
dengan pola berpikirnya itu, maka banyak umat Islam yang ragu-ragu atau kurang
percaya diri dengan teologi sunnatullah. Mereka yang fatalistik ini masih
menganggap bahwa segala –galanya telah ditentukan secara mutlak oleh Tuhan.
3.1
Peta Pemikiran Aliran-Aliran Teologi Islam
3.2 Lahirnya Aliran Teologi
Menurut Harun Nasution “Permasalahan
yang pertama muncul dalam Islam bukanlah permasalahan yang berbasiskan pada
persoalan teologi namun permasalahan politik”. Permasalahan politik tersebut
dalam perjalanannya beranjak menjadi permasalahan teologi. Menurut fakta sejarah
ketika Rosulullah saw. wafat (632 M),
para sahabat disibukkan dengan pembahasan mengenai pengganti Rasul sebagai
kepala negara, sehingga penguburan Nabi adalah permasalahan kedua.
Dari hal ini lahir permasalahan
khilafah.
Perseteruan antara Ali Bin Abi Thalib dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan merupakan titik balik dari pergeseran permasalahan politik menjadi permasalahan Teologi.
Perseteruan antara Ali Bin Abi Thalib dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan merupakan titik balik dari pergeseran permasalahan politik menjadi permasalahan Teologi.
Selanjutnya perseteruan tersebut, diselesaikan dalam perang Shifin yang dimenangkan oleh kelompok Muawiyah dengan jalan Tahkim atau Arbitrase
Kelompok Ali di wakili Abu Musa al-Asy’ari sedangkan kelompok Muawiyah diwakili Amr Ibn al-’As.
Peristiwa Tahkim tersebut, menguntungkan pihak Muawiyah, sebab penjatuhan Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang sah dan Muawiyah sebagai gubernur Damaskus yang memberontak, hanya penjatuhan Ali yang disepakati oleh Amr Ibn As.
Dampak Peristiwa Tahkim
Kubu Ali Bin Abi Thalib terpecah menjadi 2 golongan yakni:
1. Golongan Pendukung Ali Bin Abi Thalib, terkenal dengan nama Syiah
2. Golongan Yang menyatakan keluar dari kelompok Ali, terkenal dengan nama Khawarij
3. Golongan yang menjauhkan diri dari golongan Syi’ah dan golongan Khawarij, terkenal dengan nama golongan Murjiah
Kaum Khawarij berpandangan bahwa Sikap Ali yang menerima tipu muslihat dari Amr Bin As adalah salah, sebab putusan hanya datang dari Allah SWT melalui hukum-hukumnya dalam al-Qur’an.
Menurut Khawarij “la Hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain dari Allah)
Persoalan Dosa Besar
Kaum Khawarij berpandangan Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr Bin AS, Abu Musa Al-Asy’ari dan seluruh orang yang menerima Arbitrase adalah berdosa besar dan Kafir dalam arti keluar dari Islam dan harus di bunuh.
Pandangan ini bertolak pada S. al-Maidah:44 yang menyatakan “Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Adalah kafir”
Kubu Ali Bin Abi Thalib terpecah menjadi 2 golongan yakni:
1. Golongan Pendukung Ali Bin Abi Thalib, terkenal dengan nama Syiah
2. Golongan Yang menyatakan keluar dari kelompok Ali, terkenal dengan nama Khawarij
3. Golongan yang menjauhkan diri dari golongan Syi’ah dan golongan Khawarij, terkenal dengan nama golongan Murjiah
Kaum Khawarij berpandangan bahwa Sikap Ali yang menerima tipu muslihat dari Amr Bin As adalah salah, sebab putusan hanya datang dari Allah SWT melalui hukum-hukumnya dalam al-Qur’an.
Menurut Khawarij “la Hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain dari Allah)
Persoalan Dosa Besar
Kaum Khawarij berpandangan Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr Bin AS, Abu Musa Al-Asy’ari dan seluruh orang yang menerima Arbitrase adalah berdosa besar dan Kafir dalam arti keluar dari Islam dan harus di bunuh.
Pandangan ini bertolak pada S. al-Maidah:44 yang menyatakan “Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Adalah kafir”
Dari Persoalan Politik Ke Persoalan Teologi
Persoalan Dosa besar seperti pandangan kaum Khawarij di atas, selanjutnya bergeser menjadi permasalahan Teologi.
Dalam perkembangan selanjutnya persolan Dosa Besar (murtakib al-kabir) mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan aliran Teologi dalam Islam.
Permasalahan utamanya adalah “ bagaimanakah status orang yang berdosa besar, apakah mukmin ataukah kafir”
Lahirnya Aliran Teologi
Dari persolan murtakib al-kabir lahir beberapa aliran teologi. Aliran tersebut adalah ;
1.
Aliran Syi’ah
Munsulnya aliran
syi’ah dilatar belakangi oleh lahirnya kelompok sahabat yang setia terhadap
keluarga ahlul bait (pendukung Ali bin Abi Thalib). Syi’ah mulai eksis ketika
kekhilafahan usman, dan tumbuh subur ketika
Ali Ra. tampil sebagai khalifah. Keberpihakan yang keras terhadap ahlul
bait, maka syi’ah menjadi kelompok yang ekslusif dan rasialis terutama bisa
dilacak dari kosepnya tentang imamah yang merupakan kepercayaan sentralnya,
bahwa khilafah dalam Islam hanya dibenarkan dipegang oleh keturunan Ali ra.
Jika disarikan,
pemikiran-pemikiran Syi’ah, paling tidak ada tiga poin :
a.
Yang berhak
menjadi imam, yakni pemimpin masyarakat Islam baik dalam urusan
keaamaan maupun urusan kenegaraan,
harus menjadi hak waris bagi keluarga Nabi yakni Ali bin Abi Thalib dan anak
cucunya.
b. Imam itu hanya sah apabila mendapat nash
atau diangkat oleh Nabi sendiri dan kemudian
oleh imam-imam sesudahnya berurutan.
c. Setiap
imam yang diangkat itu adalah ma’shum, akan terpelihara dari
dosa serta menerima anugerah keistimewaan-keistimewaan.
2.
Aliran Khawarij
Pertama
kali muncul di kalangan tentara ‘Ali ketika peperangan memuncak antara pasukan
‘Ali dan pasukan Mu’awiyah. Ketika merasa terdesak oleh pasukan ‘Ali, Mu’awiyah
merencanakan untuk mundur, tetapi kemudian terbantu dengan munculnya pemikiran
untuk melakukan tahkim. Peristiwa tahkim inilah yang menyebabkan terpecahnya
lascar ‘Ali yang dan memunculkan kaum Khawarij, yaitu
golongan yang keluar dari kelompok ‘Ali dan juga tidak membela Mu’awiyah.
Prinsip pemikiran Khawarij meliputi pengangkatan khalifah yang demokratis tanpa adanya monopoli dari pihak manapun.
Ajaran Khawarij tentang teologi berkisar pada soal iman, kufur dan dosa besar. Sementara bidang politik, pada pemilihan kepala negara (khalifah) yang bersifat demokratis.
Kelahiran aliran khawarij menimbulkan bermacam-macam sekte atau aliran dengan pemikirannya masing-masing.
Prinsip pemikiran Khawarij meliputi pengangkatan khalifah yang demokratis tanpa adanya monopoli dari pihak manapun.
Ajaran Khawarij tentang teologi berkisar pada soal iman, kufur dan dosa besar. Sementara bidang politik, pada pemilihan kepala negara (khalifah) yang bersifat demokratis.
Kelahiran aliran khawarij menimbulkan bermacam-macam sekte atau aliran dengan pemikirannya masing-masing.
3.
Aliran Murji’ah
Yaitu mereka yang berpendapat bahwa orang berdosa besar
tetap masih mukmin dan bukan kafir. Permasalahan dosa yang dilakukan
dikembalikan pada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak.
4.
Aliran Mu’tazilah
Aliran
ini berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan
pula mukmin. Namun mereka terletak di antara dua posisi kafir dan mukmin. Dalam
teologi mu’tazilah orang seperti ini dikatakan “tanzilu baina manzilatain”
5.
Aliran Qodariah
Aliran ini terkenal dengan pemikiran
Free Will dan Free act (kebebasan berkehendak dan berbuat)
6.
Aliran Jabariah
Aliran
ini berkebalikan dengan pandangan aliran Qodariah yang menyatakan manusia
mempunyai kebebasan berkehendak dan berbuat, sebaliknya aliran Jabariah
berpandangan manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak atas dasar paksaan
dari Allah. Paham ini selanjutnya terkenal dengan predestination atau fatalism.
7.
Aliran Asy’ariyah
Merupakan
aliran teologi tradisional yang di susun oleh Abu Hasan al-Asy’ari (935 M).
Pada awalnya Abu Hasan al-Asy’ari merupakan orang Mu’tazilah yang merasa tidak
puas dengan teologi Mu’tazilah. Dalam satu riwayat keluarnya Abu Musa
al-Asy’ari dari Mu’tazilah dikarenakan ia pernah bermimpi bahwa Mu’tazilah di
cap Nabi Muhammad Sebagai ajaran yang sesat.
8.
Aliran Maturidiah
Aliran
yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w.944 M).
Dalam perkembangan selanjutnya dua aliran terakhir yakni Asyari’ah dan Maturidiah di kenal dengan nama aliran Ahlus Sunah Wal Jamaah. Kedua aliran ini dibedakan dalam lapangan hukum Islam. Aliran Asyariah lebih cenderung dengan pendekatan Imam Syafi’I, sedangkan aliran Maturidiah cenderung pada pendekatan Imam Hanifah.
Dalam perkembangan selanjutnya dua aliran terakhir yakni Asyari’ah dan Maturidiah di kenal dengan nama aliran Ahlus Sunah Wal Jamaah. Kedua aliran ini dibedakan dalam lapangan hukum Islam. Aliran Asyariah lebih cenderung dengan pendekatan Imam Syafi’I, sedangkan aliran Maturidiah cenderung pada pendekatan Imam Hanifah.
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Setelah
melihat dari isi dari makalah ini ayang berjudul “SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TEOLOGI DALAM ISLAM” maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Bahwa sejarah
dar teologi islam Dapat dibagi menjadi 4 . Yakni:
-Periode Pra Klasik (610-650 M)
-klasik (650-1250 M),
-Periode pertengahan (1250-1800 M)
-Modern (1800 dan setererusnya).
2.
Permasalahan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah permasalahan
yang berbasiskan pada persoalan teologi namun permasalahan politik”.
Permasalahan politik tersebut dalam perjalanannya beranjak menjadi permasalahan
teologi. Menurut fakta sejarah ketika Rosulullah saw. wafat (632 M), para sahabat disibukkan dengan
pembahasan mengenai pengganti Rasul sebagai kepala negara, sehingga penguburan
Nabi adalah permasalahan kedua.
3.2 SARAN
1. Hendaknya mengetahui apa saja yang
menjadi latar belakang dari timbulnya perpecahan teologi dalam islam.
2. Semua ajaran ataupun pemikiran yang
dianut oleh seluruh aliran itu benar, hanya saja ada kesalahan dibalik
kebenaran itu, maka harus pintar memilah milih antara yang mu`tabaroh atau yang
ghoiru mu`tabaroh untuk dijadikan pilihan.